“Bi Eha, Bibi liat Anta?”, waktu
menunjukkan pukul 8 pagi dan Bi Eha tampak kaget melihat penampakanku di meja
makan pagi itu. “Mmmh, belum lihat mbak… mungkin masih tidur di kamarnya”, Bi
Eha tampak canggung. “Anu Mbak Tania, Bi Eha belum sempat bikinin Mbak kerak
nasi… kan biasanya Mbak Tania bangun jam 12 siang. Mbak Tania mau nunggu ngga?
Biar Bibi bikinin dulu kerak nasinya?”, dengan sedikit gugup Bi Eha menanyaiku.
Seperti biasa, mulutku menjawabnya dengan sangat ketus. “Ga usah! Emangnya
mukaku ini keliatan kaya orang kelaparan yah?! Kalau biasa ngasih aku makan jam
12 ya udah jam 12 aja nanti, ga usah sok baik deh! Bibi aja sana yang makan!! Lagian,
ko kayanya sekarang badan Bibi keliatan kurus?! Gemukin lagi ah Bi! Aku ga suka
liatnya!”, sambil berlalu kulihat wajah Bi Eha tampak melongo kaget melihatku
berbicara seperti itu. Sejak pertama kali bertemu Bi Eha, mulutku tak pernah
berkata manis kepadanya. Bisa jadi, kata-kataku barusan merupakan kalimat
termanis yang pernah didengarnya. Entah kenapa pagi ini aku lebih perhatian
padanya, mungkin karena sms semalam… entahlah.
Kulangkahkan kakiku menuju paviliun
Anta, kepalaku melongok kesana-kemari mencoba menembus isi jendela kamarnya.
“Antaaaaa… woyyy bangunnnnn!!!! Antaaa bangunnnnn!!!”, mulutku berteriak-teriak
meneriakkan namanya. Tak ada jawaban, hening seperti tak berpenghuni. Sepertinya
Anta sudah pergi dan beraktivitas sejak tadi pagi, tumben dia tak mengunjungi
kamarku… padahal biasanya dia selalu meminta ijinku jika akan bepergian kemana
saja. Meski aku sedang terlelap pulas, biasanya tanpa ragu dia akan
membangunkanku demi mendapat ijin bepergian dariku. Kemana dia ya?
Akhirnya kuputuskan untuk kembali
menemui Bi Eha yang masih asyik berkutat dengan menu sarapan pagi ini. “Bi!!
Anta ngga ada di kamarnya ah! Kemana dia Bi? Masa Bibi ga lihat dia sih tadi
pagi?”, dengan kening yang dipenuhi kerutan kutanyai Bi Eha. “Suwer neng, Bi
Eha ngga liat Mas Anta sejak tadi pagi… eh malahan sejak subuh neng! Kan tadi
Bibi udah beres-beresin rumah sejak jam 5 pagi!”, Bi Eha tampak bersemangat membela
dirinya. “Terus Anta kemana dong?!”, sambil berlalu kugumamkan pertanyaan itu.
Bi Eha berceletuk pelan, “Ke… rupuk”. Kupalingkan wajahku cepat sambil
memelototinya, lalu kuacungkan kepalan tanganku ke arahnya, “HEH!”.
…
Aku tengah berdiri diatas hamparan
rumput yang luas, menghirup udara yang begitu dingin menusuk di kulit. Kicauan
burung terdengar riang disekelilingku, dimanakah aku ini? Aku begitu merindukan
suasana seperti ini. Bandung kota tempatku tinggal tak lagi punya tempat
seperti ini, terlalu banyak bangunan yang menyita hamparan rumput hingga tak
pernah lagi kurasakan udara sesegar kali ini. Kubiarkan lamunanku menguasai
diriku yang sedang begitu bersemangat, menatap kosong kemana saja tanpa
menyadari ada sebuah titik berwarna putih jauh diujung sana. Lama kelamaan akhirnya
mata ini menangkapnya juga, terus memicing menatap titik itu yang kian lama
kian membesar. Titik putih itu mulai membentuk sebuah sosok, mataku terus
menerus berusaha menelanjangi sosok itu. Hatiku mulai resah, karena sosok itu
semakin dekat, menuju kearahku. Aku tak percaya atas apa yang kini sedang
berdiri begitu dekat didepanku, mataku tak henti berkedip mencoba menjawab
tanda tanya besar dihatiku. Apakah ini mimpi?
Tak perlu menunggu lama atas jawaban
itu, karena tiba-tiba sosok itu menjawabnya. “Bukan Tania, ini bukan mimpi…”.
Sosok itu adalah Pierre, laki-laki yang benar-benar mengacaukan hidupku
belakangan ini. Laki-laki yang paling kubenci sekaligus kusukai. Wajahku
tersipu malu mendengarnya berkata seperti itu, jelas ini tak seperti biasanya.
Pelan dan terus tersenyum aku membalas jawabannya, “Ini lebih dari sekadar
mimpi”. Pierre tersenyum begitu indah, kulihat sebuah kebahagiaan dimatanya
yang semakin berseri. Tanpa berkata apa-apa lagi dia mendekatiku seolah hendak
memelukku, tapi bukan itu yang dia lakukan. Tangan kanannya tiba-tiba menarik
sebelah tanganku, mengajakku pergi bersamanya. Aku tak kuasa untuk menolaknya,
asalkan bersamanya aku rela dibawa kemanapun kakinya melangkah. Aku
bermetamorfosa menjadi Tania yang berbeda jika didekatnya, dan aku mensyukuri
itu. Pierre telah mengubah segalanya, bahkan aku berhasil melupakan amarah dan
kesalku kepadanya… yang kuinginkan sekarang adalah melangkah bersamanya.
Entah kemana dia akan menuju,
tangannya masih begiu erat menggenggamku. Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar
begitu jelas ditelinga, “Mbaaaaak… Mbak Tania… Mbaaaak!!!!”. Kutolehkan
kepalaku ke arah suara itu berasal, kuhentikan langkahku karenanya. “Mbak
Taniaaaa bangunnnn!!!! Ibu nyariin Mbak tuh!! Mbak Mbak Mbak Mbak bangun bangun
bangun bangun!!!!”. Mataku tiba-tiba terbuka lebar, karena suara itu
benar-benar pekak ditelingaku. “Setan!! Apa-apaan sih kamu?! Bisa lebih sopan
kan kalau bangunin orang?!”, kupelototi adikku Tiara yang kini tengah berjalan-jalan
mengelilingi kamarku. “Iya Mbak, maaf. Tapi aku udah bangunin Mbak daritadi
loh, susahnya bukan main. Bangun gih Mbak, Ibu nungguin Mbak di kamarnya.
Katanya sih penting banget…”, kulihat Tiara tampak sungkan menatap wajahku
karena kini dia mencoba mengalihkan pandangannya dengan cara melongok ke arah
luar jendela kamarku. “Aku ngga suka cara kamu Tiara!! Kalau kamu berani kaya
gini lagi, aku akan sangat marah!! Pergi kamu dari kamar ini!!”, aku
berteriak-teriak seperti orang gila kini. Tiara tampak cemberut, mulutnya
bersungut-sungut kesal. Sambil meninggalkan kamarku, kudengar dia meracau
pelan. “Ya Alloh sembuhkan penyakit Mbakku ini…”
Sambil malas-malasan kuangkat juga
tubuhku dari atas tempat tidur. Rupanya aku melanjutkan tidurku tadi pagi, tak
terasa kini waktu menunjukkan pukul 5 sore. Perasaanku sore itu begitu campur
aduk, disatu sisi aku bahagia bisa bertemu Pierre dan meyakini bahwa itu
bukanlah mimpi. Namun disisi lain aku harus menerima kalau ternyata itu
hanyalah mimpi. Tanpa mandi, tanpa berganti pakaian, kulangkahkan kakiku menuju
kamar Ibu yang katanya ingin bertemu denganku. Selama hidup satu atap dengan
keluargaku, harus kuakui aku hampir tak pernah bertatap muka dengan mereka.
Hanya Anta dan Bi Eha yang sering berkomunikasi denganku, sementara yang
lainnya tidak. Sepertinya mereka memang enggan berbicara denganku meski mereka
adalah Ibu, Ayah, dan Adikku sendiri. Tanpa mengetuk pintu aku menerobos masuk
ke dalam kamar tidur Ibuku, kulihat dia sedang duduk sendiri di beranda kamarnya.
“Halo Bu, ada apa? Lain kali jangan ganggu aku tidur ya. Ayo cepat ada apa
Bu?”, kujatuhkan tubuhku diatas tempat tidur. “Kebiasaan, anak perempuan jangan
tidur melulu nanti susah dapet rejeki!”, Ibu berdiri meninggalkan kursinya lalu
mendekatiku. “Pekerjaanku membutuhkan banyak waktu untuk tidur, dan uangku
lebih banyak daripada orang-orang yang waktu tidurnya sedikit karena dipakai
untuk banting tulang cari uang”, kini kupejamkan mataku. “Jangan begitu Tan,
kalau kamu lebih teratur pasti uang dan rejekimu juga lebih banyak daripada
sekarang”, suara Ibu mulai terdengar kesal. “Buat apa banyak uang? Gaya hidupku
tak seperti kebanyakan orang. Tanpa uang pun sepertinya aku akan tetap hidup
bahagia. Hidup normal dengan caraku”, kubuka kedua mataku dan seharusnya Ibu tahu
kalau emosiku sekarang mulai tersulut. “Memang tak ada habisnya berbicara
denganmu Tan, kamu orang yang selalu merasa benar dan sangat egois. Masih
untung si Anta itu mau bekerjasama denganmu, Ibu ragu apakah ada laki-laki yang
mau jadi suamimu! Yang mau jadi suamimu ya paling-paling si Anta itu, yang
seumur hidup akan terus kamu injak-injak”, tanpa menatapku mulut Ibu terus
bergerak kesana-kemari mengeluarkan bunyi-bunyian yang semakin memancing rasa
marahku. “Demi Alam Semesta dan segala isinya maafkan Ibuku yang berkata asal
seperti tak pernah belajar! Ibu! Jadi maksud Ibu itu apa? Mau Ibu itu apa?! Ibu
berbicara seolah tak pernah mengenalku!!! Aku ini anakmu! Dan kau harusnya jadi
orang paling mengerti aku! Ibu mau aku pergi dari rumah ini?! Baik kalau memang
itu mau Ibu!!”, emosiku kini memuncak. “Astagfirullah Tania! Jangan berkata
seperti itu pada Ibu! Ibu tak pernah bermaksud seperti itu!! Tolong jangan
seperti itu Tania…”, Ibu tiba-tiba saja meraung, menangis, dan terjatuh. “IBUUUUUU!!!!!”,
aku berteriak kencang. Aku yang begitu marah kini mulai panik, walau dianggap
sebagai wanita aneh… namun aku tak pernah kuat melihat orang menangis, terlebih
orang itu adalah Ibuku sendiri. Kuangkat tubuhnya, dan kini tangannya merangkul
tubuhku begitu erat… memelukku seakan melarangku untuk melakukan hal bodoh.
“Tania, maafkan Ibu… Tolong jangan berpikir untuk pergi dari rumah ini. Ibu
bersyukur masih tahu keberadaanmu meskipun kita tak pernah saling bicara. Ibu
merasa tenang berada satu atap denganumu.”, tanpa berhenti menangis Ibu
memelukku semakin erat. “Iya Bu, santai aja”, meski khawatir pada keadaannya
aku masih tetap saja ketus.
Ibu kini terbaring diatas tempat
tidurnya, disampingnya ada aku dan Tiara yang tadi tiba-tiba menerobos masuk ke
dalam kamar Ibu saat mendengar teriakanku. Tanpa ragu aku mulai kembali
menanyai Ibu, “Bu, sebenarnya maksud Ibu menemuiku itu untuk apa sih?”. Ibu
tersenyum menatapku, “Ibu kangen kamu Tania, rasanya sudah sangat lama tak
banyak berbicara denganmu”. Kupalingkan wajahku ke arah beranda, “Oh…”. Tiara
tiba-tiba ikut berbicara, “Iya Mbak, kita semua kangen sama Mbak. Ayah juga
semalam bilang gitu. Kita jarang berbicara kan Mbak? Dan sedihnya, kami hanya
mendengar teriakan-teriakan Mbak saja diatas sana, atau suara pecahan
benda-benda yang kami tak pernah tahu apa itu”. Kupalingkan sedikit wajahku
pada Tiara, “Sebenarnya kalian tinggal datang dan menanyaiku, jangan terlalu
drama lah”. Ibu memegangi tangan Tiara, aku tahu betul maksudnya adalah agar
Tiara tak lagi berbicara mendebatku. “Seharusnya Ibu tak seperti ini, maafkan
Ibu ya Tan. Karaktermu memang seperti ini sejak dulu, dan Ibu harus menerima
itu. Termasuk kamu juga Tiara, Mbakmu ini memang begini”, kepala Ibu mengangguk
sambil tak henti menatap Tiara, Tiara membalasnya dengan senyuman. “Bu, memang
aku ini kenapa? Apakah aku ini kurang waras dimata kalian?”, kuturunkan nada
bicaraku berusaha membuat percakapan Ibu dan anak ini menjadi lebih kondusif.
“Kamu sangat waras, bahkan mungkin lebih waras daripada kami. Hanya saja kamu
terlalu istimewa, hingga terkadang kami yang biasa saja tak bisa memahami
sebenarnya siapa kamu, apa maumu”, Ibu tak henti tersenyum menatapku. “Lalu aku
harus bersikap bagaimana agar kalian bisa memahamiku?”, kembali kubertanya.
“Mungkin kau harus mencari seseorang yang bisa menyeimbangkan keistimewaanmu,
membuatmu lebih dimengerti oleh banyak orang. Menambal kekuranganmu dengan
kelebihannya, begitupula sebaliknya…”, wajah Ibu kini tampak lebih serius,
diikuti oleh Tiara yang kini mengangguk-angguk seolah paham betul apa yang
sedang Ibu bicarakan. Kutatap wajah mereka satu persatu, wajah Ibuku… lalu
kemudian wajah adikku, Tiara. “Kalau menurutmu seperti itu Bu, dan kau
menganggap ucapan Ibu benar, Tiara. Maka kalian telah membohongiku. Ternyata
aku tak seistimewa itu. Jika aku seorang yang istimewa, tentu aku tak punya
kekurangan. Dan tentu saja, aku tak perlu penambal yang kubutuhkan untuk
menambal segala kekuranganku. Ibu, Tiara, kalian tahu apa yang kubutuhkan? Yang
kubutuhkan adalah orang yang sama istimewa sepertiku. Bukan sebagai penambal
kekurangan, tapi dia dan aku akan menjadi dua orang istimewa yang membuat
sebuah hidup yang jauh lebih istimewa daripada orang-orang pada umumnya. Aku
bukan orang setengah, dan aku tak perlu laki-laki setengah yang akan membuat
hidup kami menjadi 1 jika bersatu. Aku adalah satu, dan aku akan bersatu dengan
orang berangka satu yang akan membuat kami menjadi 2 jika disatukan. There is
no Two become One, There’s Two become Two”, aku berdiri santai lalu mulai
melangkahkan kakiku keluar dari kamar Ibu. Masih jelas kuingat bagaimana wajah
Ibu dan Tiara yang tampak melongo kaget mendengar kata-kata yang baru saja
keluar dari mulutku.
“Maafkan aku Bu, aku sebenarnya tidak ingin menyakiti perasaanmu. Tapi
beginilah aku, Ibu tahu aku memang seperti ini sejak dulu… dan hati kecilku
selalu berharap seandainya Ibuku bisa memahamiku lebih dari siapapun.”
Bersambung.
akhirnyaaa kalimat2 teh risa yg bikin saya kepincut sama tulisan2 teteh kembali juga :)) ayo teteh d posting cepetan atuh lanjutanny
ReplyDeleteassalamualaikum we.wb,saya. IBU ENDANG WULANDARI Dri jawah timur tapi sekarang merantahu di teiwan bekerja sebagai pembantu ingin mengucapakan banyak terimah kasih kepada KI KANJENG DEMANG atas bantuan AKI. Kini impian saya selama ini semaunya sudah tercapai kenyataan dan berkat bantuan KI KANJENG DEMANG pula yang telah memberikan Angka gaib hasil ritual beliau kepada saya yaitu 4D. Dan alhamdulillah berasil tembus. Dan rencana saya ingin Mau pulang ke kampung kumpul kembali degang keluarga saya sekali lagi makasih yaa KI karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang cuma 400rb Dan akhirnya saya menang. berkat angka gaib hasil ritual AKI KANJENG DEMANG saya sudah buka usaha warung makan Dan suami saya peternakan. Kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya, Dan saya ATAS Nama IBU ENDANG WULANDARI sekali lagi saya betul betul sagat berterima kasih kepada AKI Dan saya minta Maaf kalau Nama AKI saya tulis di internet itu semua saya lakukan karna saya Mau ada orang yang meminta bantuan Sama AKI agar seperti saya sudah sukses. Dan membatu orang orang yang kesusaan. bagi anda yang ingin seperti saya silahkan HUB / KI KANJENG DEMANG di Nomor INI: 081 / 234 / 666 / 039 / insya allah AKI akan membantu anda karna ramalan KI KANJENG DEMANG memiliki ramalan GAIB yang bagus Dan dijamain tembus
Deleteastaga,, tania, karaktermu sungguh-sungguh menyebalkan. Hebat banget keluarganya dan Anta ya.. ayo teh, lanjut :D
ReplyDeleteGo girl go....
ReplyDeleteaaaaa jatuh cinta sama teh risaa
ReplyDeletelanjutannya teh ....
dan ternyata serumah sama orang tuanya...
ReplyDeletekirain cuma tinggal bertiga anta sama bi eha..
ih si tania pikasebeleun, tapi rame.. lanjut teh :)
ReplyDeleteantanya ngilang di part ini. lanjuuut
ReplyDeletejangan lama2 teh ndut ={
ReplyDeleteMahluk yang anehh. tp seruu.. lanjut teteh geulis
ReplyDeletesumpah teh, termotivasi :) :D
ReplyDeleteSalam kenal teh :)
ReplyDeletehahaha seru bangett
ReplyDeleteObat Herbal Kanker Usus Halus Ampuh
Obat Herbal Glaukoma
Obat Herbal Ispa
Obat Herbal Tulang Keropos
Obat Herbal Kanker Kandung Kemih
Obat Herbal Amandel Kronis
Obat Herbal Vertigo Akut
Obat Herbal Disentri
Obat Herbal Varises
GLOW Enhanz
Obat Herbal Alzheimer
Obat Herbal Epilepsi
Obat Herbal Sipilis
Obat Herbal Pasca Stroke Berat
Obat Herbal Kanker Hati
Obat Herbal Meningitis
Obat Herbal untuk penyakit Faringitis
Suplemen Pemutih Wajah
obat hernia alami
ReplyDeletecelana hernia wanita
mengobati hernia pada bayi
Obat perangsang wanita ampuh
Toko Pasutri Nabil Farma
Blog kesehatan
Jasa Seo terpercaya
Game Naruto Shipuden Ultimate Ninja Storm 4 PC
Jual Hardisk Murah
jual game pc
Sirine polisi
bel sekolah mp3
Blog kesehatan
Cara Mengobati Hernia
mengobati hernia
Cara menyembuhkan hernia
Blog kesehatan
Blog kesehatan
Blog kesehatan
Blog kesehatan
Blog kesehatan
Blog kesehatan
Blog kesehatan
Blog kesehatan
Blog kesehatan
hammer of thor
ReplyDeletethor hammer
semenax
Titan Gel Asli
ReplyDeleteCiri Ciri Titan Gel Asli
Obat Biomanix
Ciri-ciri Vimax Asli
Ciri-ciri Anabolic 24rx Asli
Obat Anabolic
24rx Asli
Hammer Of thor asli
Obat Forex Asli
Forex Asli
daun bungkus papua asli
Vmenplus Asli
Ciri-
CiriVmenplus Asli