Walaupun sebenarnya Anta yang dirawat di Rumah Sakit, tapi
rasanya seperti aku yang baru saja sakit.
Sepulangnya Anta ke rumah, kini giliran badanku yang merasa remuk redam…
mungkin karena berminggu-minggu menemani Anta di Rumah Sakit dengan ruang yang
sangat terbatas, kamar, wc, lalu kemudian kantin. “Hoammmm aku ngantuk sekali,
Bi Eha… tolong liatin Anta di kamarnya ya! Siapa tau dia butuh sesuatu. Aku mau
keatas! Ngantuk!”, kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamar. “
Beres Mba, laksanakan! Tapi Mba Tania, jangan lupa makan ya… Bi Eha takut nanti
malah Mba Tania yang sakit”, Bi Eha menimpali perkataanku. “Berisik!”, hanya
itu yang keluar dari mulutku.
Sudah beberapa hari ini Anta pulang ke rumah, Dokter
mengatakan kondisinya sudah lumayan membaik… hanya saja semua orang di
sekitarnya harus ekstra hati-hati menghadapi Anta yang cedera otaknya masih
belum sembuh secara total. Kuperintahkan seisi rumah ini untuk mengingat hal
itu, tak satupun orang kubiarkan menggerecoki Anta yang kini jadi semakin
pendiam. Heran, anak itu benar-benar berubah… mulutnya tak lagi bawel, sikapnya
tak seceria dulu, tapi tak mengapa… mungkin lama kelamaan dia akan kembali
normal. Beberapa kali aku dibuat kesal oleh sikap Anta yang selalu bengong jika
kuajak bicara, tak bisa kuungkapkan kekesalanku ini padanya. Alhasil, beberapa kanvas
lukisanku hancur berantakan karena kubanting… Yaaa… ini kulakukan untuk
meluapkan kekesalanku menghadapi Anta.
“Tok tok tok”, suara pintu kamarku diketuk pelan oleh
seseorang. “Masuk!”, mataku baru saja akan terpejam… membuat emosiku agak tersulut
karenanya. Pintu kamar terbuka sedikit, kulihat sesosok laki-laki kurus dan
pucat berdiri disana, mataku terbelalak kaget melihat sosok itu. “GILAAAA!
Untuk apa kamu naik kesini Anta?!!! SINTING! Dasar ngga becus si Bi Eha,
harusnya dia saja yang kemari!!”, aku berteriak sambil berlari menghampiri
Anta. “Ng… Ngga apa-apa ko teh. Anta boleh masuk?”, dengan polosnya dia
menanyakan hal itu. “Kamu ini otaknya dimana sih? Biasanya juga kamu nyelonong
masuk ke kamar ini. Aduh! Kalo kamu jatuh lagi gimana?!”, kupapah tubuhnya dan
mendudukkannya di tempat tidurku. “Terimakasih teh, teh… Anta kesini mau
ngeliat lukisan-lukisan baru teteh…”, wajahnya terlihat dipaksakan tersenyum.
“Ga ada, aku berhenti melukis”, dengan ketus kujawab pertanyaannya. Tanpa
menunggu dia bertanya, kujelaskan padanya bahwa aku tak akan melukis hingga
kondisi kesehatannya membaik. Kepalanya tertunduk resah, “Teteh jangan gitu…
beban Anta semakin berat”. Mataku melotot menatapnya, “Heh! Udik, baru sekarang
kamu mikirin beban heh? Harusnya kamu sadar, dengan kamu sakit begini ya kamu
memang menjadi bebanku. Tapi kalau kamu sembuh, kamu ga lagi jadi beban dan aku
bisa melukis lagi. Jadi aku mohon nih padamu, denger ya! Ini baru pertama
kalinya aku memohon sama orang lain. Jadi, aku mohon… lekaslah sembuh!! Aku
menderita melihat kamu begini menyedihkan”. Matanya tiba-tiba saja menoleh ke
arahku, terlihat berkaca-kaca. “Teteh tolong stop teteh… jangan bilang hal
seperti ini lagi ya teteh…”, Anta menatapku dengan penuh harap. Aku tercengang
melihat sikap Anta siang itu, tak pernah sekalipun kulihat dia menangis seperti
ini selama aku mengenalnya. Dia benar-benar berubah, tanda tanya besar mengisi
kepalaku tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Anta yang kukenal.
Anta meninggalkan kamarku lunglai, menolak untuk kupapah.
Sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu, wajahnya menatap ke arahku sedih.
“Teteh, jangan sakit ya… Teteh banyakin makan, bosen Anta teh liat badan teteh
kaya tengkorak hidup… model bukan, peragawati bukan, tiang listrik bukan,
ngapain atuh teteh teh badannya mesti kayak begitu?”. Segurat senyum terukir
diwajahnya, sementara aku yang sejak tadi kebingungan atas sikap Anta sontak
tertawa terbahak-bahak mendengar perkataannya barusan. “Yaaaayyy!!!! Si udik
sudah kembaliiiii!!!!”.
…
Keadaan Anta sudah jauh lebih baik kini, sikapnya yang sempat
menjadi aneh kini kembali seperti dulu lagi. Aku kembali melanjutkan kegiatan
melukisku sedangkan dia kembali sibuk
memasarkan lukisan-lukisanku itu pada kolektor yang sudah lama menanti
lukisan baru dariku. “Teh, tahh kalau yang ini Anta suka pisan! Bagus teteh ih…
lihat, ada binatang-binatang lucunya kaya kelinci… teteh teh kalau ngelukis
yang kaya gini atuh teh, kaharti teteh… maksudnya mudah dimengerti apa
maksudnya…”, Anta memandangi kanvas yang sedang kububuhi warna. “Heh seenaknya
banget sih kamu! Dilarang komentar!! Enak aja, masa yang kaya gini kamu bilang
kelinci?!! Dasar Udik! Ini tuh gambar meteooor Anta, hey INI METEOR”, kubisikan
keras-keras kata-kata itu di telinga Anta. “Masa meteor adanya di tanah, ah dasar
lieur seniman mah… teu ngarti…”, Anta membalikan tubuhnya dan segera berlalu
dari hadapanku, sementara bibirku ikut mengumpat sambil mencibir mengantarnya
pergi dari studioku. Hatiku tertawa melihat sikap Anta yang begitu lugu dan
polos, lagi-lagi di dalam benakku tersirat rasa bersyukur pada Tuhan karena
telah mempertemukan aku dengan Anta yang kini menjadi manusia paling berarti di
dalam hidupku. Meski tak ada percik cinta dalam hubungan kami, tapi 100 persen
aku yakin bahwa dia adalah segalanya bagiku lebih dari keluargaku sendiri.
Aku masih sering melihat Anta melamun sendirian di teras
paviliunnya, tatapan matanya kosong, seperti malam ini saat tak sengaja
kupergoki dia tengah melamun. Kuperhatikan dia lama dari atas studio,
bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang dia lamunkan. Ketakutanku hanya satu,
aku takut dia tidak merasa betah lagi tinggal di rumah ini dan bekerja
bersamaku. Tak kubayangkan betapa kelimpungannya hidupku tanpa Anta, hanya dia
satu-satunya orang yang bisa menghadapi segala kekuranganku dengan sabar. Aku
tak ingin mengganggunya, biasanya kulempari dia dengan benda kecil apapun dari
atas sini untuk membuyarkan lamunannya namun kali ini kuputuskan untuk
mengawasi saja sampai berapa lama dia mampu bertahan melamun seperti orang stress.
Diam-diam tanganku mengambil kanvas kecil, lalu mulai melukis apa yang sedang
kuperhatikan. Kulukis dia yang sedang duduk termenung jauh disana, begitu lama
hingga lukisanku selesai pun dia masih memaku tak bergerak. Ada apa dengan
Antaku?
“Teh, siang ini Anta mau ketemu klien yah… dia tertarik buat
bawa beberapa lukisan buat dijual di galerinya dia, alhamdulillah galerinya ada
di Swiss. Semoga penawarannya menarik teh, kan lumayan yah… nanti teteh sama
saya bisa terbang kesana beli cokelat yang banyak!”, matanya begitu berbinar
saat menceritakan apa yang akan dilakukannya hari ini padaku. “Halah Anta, ga
usah majang lukisan di pameran juga kita bisa pergi ke Swiss! Jangan kaya orang
susah ah!”, bibirku selalu menggerutu seperti itu menanggapi kata-katanya. “Eh
ari si Teteh, lumayan atuh gratis ari Teteh! Sekalian bisa cari jodoh nanti
disana ih Teteh inimah cocok pisan buat Teteh, Teteh mah harus nikahnya sama
Bule atau kalau orang sini mah harus sama nugelo sekalian”, kulihat wajah Anta
kini terlihat kemerahan menahan tawa. “Ehhh siah, sialan kamu Anta!!! Kalau
cuma orang gila yang mengerti aku, berarti kamu juga gila!!!! Ya udah sana
pergi lah, kamu ngerusak imanjinasiku… menyebalkan. Sana sana sana!”, sambil
cemberut kuperintahkan dia segera pergi meninggalkan studio. “Teh, teteh harus
lihat ini klien yang punya galerinya… kasep pisan teteh campuran Prancis sama
Cigondewa..”, Anta masih sempat menggodaku sesaat sebelum keluar dari studioku.
Akhirnya dia benar-benar pergi sambil tertawa puas mentertawakanku setelah
kulempar dia dengan mug yang ada disebelahku. “Apa lagi yang pecah mba Taniaaaaaaaaaaaa??????”, suara bi Eha terdengar sama dari bawah sana, dia
memang sudah terbiasa dengan suara-suara lemparan benda dari dalam Studioku.
“Hatinyaaaaa biii…”, Anta berteriak menanggapi pertanyaan Bi Eha dari luar
studio sambil diiringi gelak tawa mereka setelahnya. Aku berteriak sangat
keras, “Setannnnnnnnnn!!!!”.
…
“Teh Tatan, ini kenalin… namanya Pierre. Dia yang saya
ceritaan waktu itu, pemilik galeri di Swiss yang ingin bawa lukisan teteh ke
galerinya”, dengan senyum khas miliknya Anta sangat sumringah membawa laki-laki
setengah bule itu ke studio. Saat itu aku tengah menyelesaikan lukisan yang
sudah seminggu ini kugarap, “Diam, jangan banyak bicara dulu silahkan keluar
tunggu disana, aku sedang serius”, tak kubiarkan kepalaku berlama-lama menatap
keduanya karena kini kedua mataku sudah terfokus lagi pada kanvas yang ada di
depanku. “Heuh, angger dia mah. Maaf mister yah, Tania memang begitu kalau
sudah asik melukis. Kita ngobrol saja diluar ya? Sambil nunggu dia beres
melukis?”, kulihat sekilas Anta membawa laki-laki itu pergi dari studio menuju
teras luar, entah apa yang mereka lakukan disana.
“Ya, ada apa?”, kulangkahkan kakiku malas-malasan mendekati
keduanya yang tengah asik berbincang di teras studio. “Wow, cepat sekali, sudah
bereskah lukisan Tania?”, setengah terbata laki-laki itu bertanya sambil
tersenyum menatapku. “Sudah. Hai, Tania…”, jawabku sambil menglurkan tangan
kiri kepadanya. “Tehh ih yang sopan! Pake tangan kanan!!”, Anta tiba-tiba saja
menepis uluran tanganku dan mengangkat paksa tangan kananku. “Hahaha sudahlah
tidak apa-apa, halo Tania… nama saya Pierre. Senang akhinya bisa berjumpa
dengan kamu pelukis idola saya”, Pierre kembali tersenyum riang sambil tak
melepaskan tangan kananku yang sejak tadi disambut oleh kedua tangannya.
Kuhempaskan tangannya dengan kasar, “Ada apa ya anda kesini?”. Anta mulai
menengahi kami, “Teh, jangan gitu ah. Dia ini datang kesini mau milih lukisan
teteh yang mau dipajang di galerinya nanti. Ya mister ya?”. Laki-laki bernama
Pierre itu kembali tertawa pada Anta, “Panggil saya Pierre…hahaha”. Tiba-tiba
saja emosiku terpancing membuat keduanya terlihat kaget dan berhenti tertawa,
“Enak saja pilih-pilih!!! Aturan dari mana itu??? Hanya saya bisa menentukan
mana yang akan kamu bawa ke galerimu!!! Kamu pikir siapa kamu bisa seenaknya
memilih?!! Kalau kamu masih mau ambil silahkan, kalau tidak suka dengan aturan
saya ya silahkan pergi juga! Saya tidak butuh yang seperti ini!”. Pierre tampak
shock dengan sikapku, namun kulihat Anta segera mencairkan rasa kagetnya dengan
cara mengerdipkan sebelah matanya pada Pierre dan menarik laki-laki itu menjauh
dariku, membisikkan sesuatu di telinganya. “Bencong!”, umpatku.
cerita ny bikin penasaran teh ,
ReplyDeletebagus pisan uy :D
aih teh kenapa bersambung lagi?lagi seru ceritanya itu teh :(
ReplyDeleteAduuh, berat..
ReplyDeleteismailhidayat.com
next nya jangan lama-lama :( seru nih
ReplyDeletesemangat mba risaa :D
ReplyDeleteLanjut Teh :-)
ReplyDeleteihh, tania nyebelinnn.. tp penasaran :D
ReplyDeletejangan lama-lama dong jeda nya teh... :O
ReplyDeletesambungan ceritanya kapan kak???
ReplyDelete*nungguin*
klo cerita bagus ky gini ga adakata rugi buat baca n share ma yg lain ga ky blog lain.. kebanyakan iklannya dripada cerita bagusnya
ReplyDeleteEnaknya aku, eh saya tinggal baca tanpa menunggu krn udah komplit semua serie Antanya
ReplyDelete