“Hola Halo!!!! Nama
saya Anta! Nama lengkap saya Ananta Prahadi. Umur saya 17, saya pindahan dari
kota Subang, single, tampan dan
pandai bersih-bersih rumah!!! Insyaallah kalau berteman sama saya kalian ngga
akan rugi, soalnya saya juga hobi bersih-bersihin rumah orang!”, seisi kelas
tertawa kegelian mendengar perkenalan anak baru pindahan dari Subang ini. Di
tengah anak-anak muda di kota ini yang sudah sedemikian modern, rasanya
kedatangan Anta menjadi sebuah angin segar untuk kami semua yang tak terbiasa
dengan sikap kedaerahan milik Anta. Seketika itu juga Anta menjadi primadona
dalam sehari, sikapnya yang sangat “sunda” dan polos membuat kami semua orang
merasa senang berada di dekatnya. Senyum tak pernah absen dari bibirnya,
kata-kata yang keluar dari sana pun selalu saja bisa membuat yang lainnya
tertawa. Anta adalah mahkluk pembawa kebahagiaan, itu yang orang-orang bicarakan
dibelakangnya. Diam-diam, aku yang tak pernah bisa berteman dengan siapapun
akhirnya sering memperhatikan Anta.
Orang bilang aku adalah perempuan aneh, bahkan orangtuaku pun
berkata seperti itu kepadaku. Aku lebih suka berdiam diri di kamar dibandingkan
harus berinteraksi dengan orangtua, adik, dan kakakku. Aku lebih suka menyimpan
uang-uang pemberian ayahku didalam kotak bekas biskuit yang kemudian ku kubur
di halaman belakang rumah, dibandingkan harus menyimpannya di bank seperti yang
keluargaku lakukan. Aku lebih suka memakan nasi basi yang dijemur dan
dikeringkan setiap harinya dibandingkan harus memakan makanan enak yang biasa
dimakan orang lain. Aku lebih suka mematikan semua listrik yang ada di kamarku
dan menggantinya dengan lampu petromax
atau dengan lilin-lilin yang kusebar diseluruh ruangan kamar. Dan aku hanya
akan mengerjakan hal-hal yang ku anggap penting, termasuk pekerjaan rumah yang
ditugaskan oleh sekolah. Aku hanya akan mengerjakan tugas yang memang menarik
dan berguna, jangan harap aku akan mengerjakan tugas “Mengarang” untuk bahasa
Indonesia karena bagiku imajinasi adalah sebuah omong kosong. Untuk apa membuat
sesuatu yang di karang jika hal-hal yang realistis saja masih banyak yang
menarik untuk diceritakan. Umurku kini 19, seharusnya sudah duduk di kelas 3.
Namun 2 tahun aku tinggal kelas akibat kuatnya sikapku dalam mempertahankan
idealisme ini. Kecaman kudapat dari mana-mana dan dari segala arah, lalu
reaksiku? Sungguh, aku tak peduli.
“Awas si gila lewat… sssh ssssh nanti ditonjok loh kalo
berisik… sssh sssh…”, bisikan-bisikan seperti itu memang sudah menjadi makanan
sehari-hari buatku. “Boooo…. Boooo….”, kugerakan mataku keatas dan kebawah
sambil menjulurkan lidah saat melintasi mereka yang sejak tadi terlihat
mencibirku. Wajah kaget dan ngeri tergambar jelas diwajah mereka, ya… inilah
aksi si gila yang tak boleh mereka anggap remeh. Selama hampir 3 tahun
bersekolah di sekolah ini rasanya hanya interaksi seperti itu yang biasa
kulakukan dengan siswa lainnya. Tak sedikitpun terbersit keinginan untuk
menjalin pertemanan apalagi persahabatan dengan mereka semua. Duniaku sudah
begitu menyenangkan, untuk apa berbagi dengan orang lain? Toh nantinya aku pun
akan berakhir sendirian dalam kuburku.
“Teh Tatan, boleh saya duduk di sebelah teteh?”, laki-laki
periang bernama Anta ini tiba-tiba saja mengusikku yang sedang sibuk melukis
pemandangan di dalam kepala, tentu saja tak kugubris dia. “Teh Tatan? Teh ??
Diam tanda setuju yah inimah setuju artinya”, dia lantas mengangkat tasku di kursi
sebelah lalu menaruhnya di lantai sebelah kiri tempatku kini duduk. Aku terus
berdiam diri, tak bisa kubiarkan anak ini merusak lukisan pemandanganku yang
sebentar lagi selesai. “Pertama, namaku Tania. Kedua, aku tak pernah menikah
dengan Abangmu jadi jangan panggil aku dengan sebutan teteh. Ketiga, kau boleh
duduk disini selama mulutmu terkunci rapat dan tak mengeluarkan kata-kata tidak
penting. Keempat, jangan pernah berbicara denganku.”, kuteriakkan keras-keras
peraturan yang kubuat untuknya setelah lukisan di kepalaku selesai kubuat
sehingga beberapa siswa di kelas memalingkan wajah dan perhatian mereka ke
arahku. Anta tersenyum lebar, “Si Teteh Tatan galak yah, saya jadi takut… tapi
ngga apa-apa lah okey Anta nurut sama aturan-aturan yang teteh buat hehehe”.
“Tania!!!!”, teriakku lagi. “I.. i.. iya Tantan Tan… Tan… Tania”, dengan gaya
gugup Anta mencoba mengajakku bercanda, dan tentu saja… tak berhasil membuatku
tertawa. Mulutku bersungut-sungut kesal, beberapa teman kelas berusaha
memperingatkan Anta agar berhati-hati terhadapku dengan cara berbisik.
…
Sudah hampir 6 Tahun aku bersahabat dengan Anta, sejak
pertamakali dia memaksa duduk di kursiku. Tak ada yang berubah dengan diriku,
begitupula dengannya. Aku masih tetap wanita aneh, dan Anta masih menjadi
seorang laki-laki culun. Bangku kuliah
sempat ku kenyam, sudah pasti atas paksaan ayahku yang ingin agar aku
bersekolah sama seperti saudara-saudaraku yang lain. Hanya cukup satu tahun
untuk aku bertahan mempelajari seni murni di sebuah universitas, setelah itu… aku memutuskan untuk menyalurkan
bakatku di rumah saja. Ayah membuatkanku sebuah studio terbuka di lantai 4
rumahku, menghadap langsung pada pegunungan yang terbentang diluar sana. Tak
ada hal lain yang ingin kulakukan selain menuangkan lukisan di dalam kepalaku
ke atas sebuah kanvas, hasilnya tak terlalu buruk… terbukti dari peminat
lukisanku yang cukup banyak. Tapi seperti biasa, aku tak bisa menjual isi
kepalaku pada sembarang orang… ada beberapa persyaratan khusus bagi calon
pembeli lukisan-lukisanku.
1.
Pembeli
hanya orang-orang yang menggunakan sapaan “Saya & Kamu”, bukan “Lo &
Gue”, atau “Aku & Kamu” pada saat memperkenalkan dirinya untuk pertama kali
kepadaku.
2.
Pembeli
dilarang keras menanyakan makna dibalik lukisan yang kubuat.
3.
Tidak
boleh ada kata-kata yang mengisyaratkan bahwa lukisanku mirip lukisan seniman
lain.
4.
Tidak
satupun boleh menatap nyinyir kepadaku seperti teman-teman sekolahku dulu
lakukan kepadaku.
Jika semua persyaratan itu lolos, maka untuk selanjutnya
adalah urusan Anta yang melakukan penawaran mengenai harga lukisan-lukisanku.
Anta sudah tahu betul apa yang aku mau, 6 tahun pertemanan ini membuatnya bisa
benar-benar mengerti seorang Tania yang begitu egois dan memiliki dunia
sendiri. Anta tidak berkuliah, dia tak punya cukup uang untuk melakukan hal
itu. O iya, kedua orangtuanya sudah meninggal dan dia sama sekali tak punya
sanak saudara. Paman yang membawanya ke kota ini dan membiayai sekolahnya pun
kini telah tiada, maka Anta memutuskan untuk menerima tawaranku saat aku
menawarkannya untuk tinggal di paviliun belakang rumahku dan menjadi orang yang
mengurus lukisan-lukisanku. Anta masih ceria seperti pertama kali mengenalnya,
seluruh anggota keluargaku selalu terhibur olehnya. Kadang aku merasa bahwa
satu-satunya hal baik yang bisa kulakukan untuk keluargaku adalah membawa Anta
menjadi bagian dari keluarga ini, setidaknya mereka terlihat senang.
Selama berteman dengan Anta, pertanyaan mengenai tingkat
kenormalan kami selalu saja menjadi tanda tanya besar di lingkungan pertemanan
kami. anta pernah bercerita kepadaku, sebagian besar mereka penasaran dengan
cara berkomunikasiku. Dan Anta selalu menjelaskan dengan kata-kata hiperbola
khasnya, “Teh Tatan itu yah, mahkluk Tuhan paling langka yang harus kita
lestarikan. Mungkin di dunia ini hanya ada satu jenis mahkluk hidup semacam
teteh Tatan!! Dan saya Anta, sebagai manusia yang beradab dan menjunjung tinggi
pelestarian budaya maka bertindak sebagai pelestari teteh Tatan. Tuhan memang
mengutus saya untuk menjaga teteh Tatan. Jadi maaf, saya tidak bisa
bersih-bersih di rumah kalian karena saya sudah di buking sama teteh Tuhan
untuk menjaga teteh Tatan”. Beberapa di antara mereka juga mencurigai adanya
percik asmara antara aku dan Anta, lagi-lagi Anta yang menjelaskan kepada mereka…
haha mana punya waktu bagiku untuk mengklarifikasi masalah tidak penting
seperti itu. Tak perlu kutunjukkan bagaimana peduliku pada Anta karena dia pun
tahu aku tak pernah begini baik kepada orang lain. Ibu pernah mendatangi
kamarku, dia sangat penasaran pada hubunganku dengan Anta. Menurutnya, Anta
bukan laki-laki yang terlalu hebat ataupun terlalu unik namun mengapa aku yang
seperti ini bisa berteman dengannya? Pertanyaan ibu kujawab dengan kalimat
pendek. “Tuhan menciptakan Anta untukku Bu”.
…
“Teteh Tatan, uang teteh yang ada di tabungan saya sudah
semakin banyak. Punya rencana untuk dicairkan? Sayang loh, itu bisa dipakai
untuk membeli barang-barang yang teteh mau..”, setengah berlagak serius Anta
duduk disampingku yang tengah bersantai duduk di sofa teras ruang melukisku. “Sudah
ku bilang, panggil aku Tania! 6 tahun berteman tak cukup ya untuk membuatmu
sadar kalau aku tak suka dipanggil Teh atau Teteh atau Mbak atau apapun
itulah…”, tampangku agak kesal saat menjawab pertanyaan Anta. “Biar bagaimanapun,
umur Teteh itu lebih tua daripada saya. Saya harus menyantuni teteh dong… harus
sopan teh.. sopann..”, Anta berbicara nyerocos sambil tertawa. “Yang harus
disantuni itu kamu, bukan aku. Yang yatim piatu itu kamu kan? Hahaha”, aku tahu
Anta sudah terbiasa dengan gaya becandaku ini yang memang kadang terkesan
kurang ajar. “Ah, si teteh mah… selalu aja kaya gini. Ini uang mau dikemanain
tetehhh???”, Anta kini menunjukkan wajah kesal sambil terus menatap kedua
mataku bagai anak anjing kelaparan. “Sebagian belikan kanvas dan alat-alat
lukisku, sebagian untuk beli keperluan hidupmu. Sebagian besarnya masukkan ke
dalam tabunganmu, aku titip dulu.”, kuangkat tubuhku dari sofa dan bermaksud
masuk ke dalam kamarku untuk tidur siang. “Eh si teteh yah, terus aja di titip
ke tabungan saya. Sudah menumpuk teh numpuk banget!”, Anta berusaha menarik
tanganku namun kuhempaskan kasar cengkramannya, jika sudah seperti ini Anta
mengerti aku takkan pernah bisa dia ganggu lagi.
…
Baru saja 10 menit mataku terpejam, suara ketukan pintu kamar
terdengar begitu mengganggu telingaku. “Mbaak, mbak Taniaa… mbak Taniaaa… cepat
keluar mbak cepat keluar mbakk!!!”, ini pasti suara Bi Eha pembantu rumah
tangga yang bekerja di rumah orangtuaku. “Yaa? Ada apa bi Eha?”, aku tak akan
membuka pintu kamarku sebelum aku tahu seberapa penting aku membuka pintu
kamarku untuk orang lain. “Anta mbaaak… Antaaaa… jatuh barusan dari tangga,
tolong mbaaa bawa Anta ke rumah sakit. Anta ngga bangun bangun Mbaa…”, bi Eha
terdengar sangat histeris… kata-kata yang keluar dari mulutnya pun berhasil
membuatku terkejut hebat dan segera melompat dari tempat tidurku, membuka pintu
kamar dan berlarian menuju lantai 1 rumahku. “Antaaaaaaa… Alam semesta
selamatkan Anta!!!!!”, aku berteriak teriak meneriakkan kata-kata itu saat
beberapa orang anggota keluargaku mengerumuni Anta yang tergenang darahnya,
entah darah dari bagian tubuh yang mana tapi anggota keluargaku yang didominasi
kaum hawa tak ada yang berani memegang tubuh Anta karena ketakutan. Ku angkat
tubuh Anta yang terlelap bagai sedang bermimpi… entah darimana datangnya
kekuatan ini karena kini benar-benar kedua tanganku berhasil mengangkat
tubuhnya, darah berceceran dilantai sehingga sekarang aku tahu kepalanya lah yang
telah mengeluarkan banyak darah. “Tiara! Cepat setiri mobilku!! menuju rumah
sakit terdekat! Bi Eha! Ikut aku!”, tiba-tiba saja mulutku mengomando adik dan
pembantuku untuk membantuku menyelamatkan Anta.
…
Sudah 23 hari lewat 17 jam 13 menit 6 detik tubuhnya
terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit, sahabatku satu-satunya tak juga
tersadar. Sudah selama itu pula kupindahkan sebagian furniture kamarku ke ruang rumah sakit tempat dia terbaring. Aku
tak peduli pada biaya yang harus kukeluarkan untuk menyelamatkannya, aku tak
peduli pada kanvas-kanvas kosong yang seharusnya kulukisi dengan gambar-gambar
baru, aku juga tak peduli pada larangan menginap di rumah sakit oleh kedua
orangtuaku yang mengkhawatirkanku jika terus menerus menunggui Anta. “Hhhh, Anta…
Anta… bangunlah bodoh! Aku sudah lelah menangis, ternyata betul mengeluarkan
air mata itu rasanya menyakitkan. Bangunlahh…”, kubisikkan kata-kata itu di
telinganya. Sejauh ini respon paling positif yang dilakukan olehnya hanyalah
menjentikkan jari telunjuknya, sungguh menyebalkan. Belum pernah aku sebegini
peduli pada orang lain selain diriku sendiri, pernah beberapa kali kakak dan
adikku masuk rumah sakit dan tak pernah sekalipun kutengok mereka atau bahkan
menanyakan kondisi kesehatan mereka kepada kedua orangtuaku. Namun kali ini
berbeda, Anta sudah menjadi bagian penting dari diriku… tanpa harus banyak
berbicara dia sudah mengerti betul bagaimana cara menghadapiku. Anta terkena
gegar otak akibat benturan kepala yang terlalu keras menyentuh lantai, kulit
kepalanya robek hingga harus menerima beberapa jahitan. Jahitan di kepalanya
sudah hampir mengering, namun kondisi Anta masih dalam keadaan koma. Ibuku
hampir putus asa melihat kondisi Anta yang semakin lama semakin
mengkhawatirkan, sedangkan aku sebaliknya… aku yakin akan selalu ada keajaiban
untuk seseorang baik hati seperti Anta.
“Kepada Ibu Tania, Ibu Tania, Ibu Tania dari Pondok Hijau…
Diharapkan untuk segera datang ke ruang A1. Kepada Ibu Tania, Ibu Tania…
Diharapkan untuk segera datang ke ruang A1”,
suara panggilan dari operator yang memanggil namaku begitu jelas
memekakkan telinga, aku sedang membeli sarapan untuk mengisi perutku di kantin
Rumah Sakit saat itu. Kutinggalkan makanan yang belum sempat kubayar, berlarian
menuju kamar A1… kamar tempat Anta terbaring tak sadarkan diri. Aku yakin, ada
sesuatu yang terjadi kepada Anta. “Ya Sus??? Dok? Ada apa ini??”, kepanikanku
semakin menjadi saat melihat beberapa suster dan seorang dokter sedang
mengelili Anta. “Mbak Tania tenang dulu, mari kemari… mungkin ini saat yang
Mbak nanti”, wajah dokter begitu sumringah… begitupun para suster. “Anta?!!!
Anta?!!! Kau bangunnn??? Antaaaa!!! Terimakasih alam semesta!!!”, aku berteriak
histeris melihat Anta tersenyum begitu lebar melihatku. “Teh Tatan…”, bisiknya
lemah. “Mbak, Mbak Tania jangan terlalu aktif di sekitar Mas Anta yah…
kepalanya masih butuh penyesuaian. Jangan terlalu dibebani oleh pikiran-pikiran
dan obrolan yang terlalu berat yah, masih beruntung Mas Anta ini karena dia
tidak kehilangan ingatannya”, dokter tersenyum sambil mengedipkan matanya
kepadaku. “Kapan kami boleh pulang?”, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari
mulutku. “Kami? Hahaha, mbak Tania bisa pulang kapan saja… tapi mas Anta, nanti
dulu yah… tunggu sampai kondisinya membaik”, lagi-lagi dokter itu mengedipkan
matanya. “Dok… Dok… te.. rimaka… sih ya Dok…”, Anta ikut bersuara… suaranya
masih sangat lemah, yang membuat aku heran adalah tetesan-tetesan air mata di
wajahnya disertai senyuman getir yang biasanya tak pernah Anta sematkan di
bibirnya, mungkin dia sedang dalam kondisi dramatis melankolis akibat
kesembuhannya… sudahlah.
Anta tak banyak bicara, namun matanya terus menerus
memandangiku entah apa maksud dari tatapannya itu. Aku lebih banyak bicara
kepadanya, menceritakan isi kepalaku dan rencana-rencana setelah dia diijinkan
pulang nanti. Aku bilang padanya, “Anta, setelah kau pulang nanti… kita gunakan
uang tabungan hasil penjualan lukisan untuk jalan-jalan ke transylvania. Aku
selalu penasaran dengan negara itu, aku ingin bertemu Dracula!”. Anta tersenyum
menatapku, “Iya Teteh… Ayo! Anta mah ikut aja kemana teteh pergi”.
asik jalan-jalan (eh?)
ReplyDeleteassalamualaikum we.wb,saya. IBU ENDANG WULANDARI Dri jawah timur tapi sekarang merantahu di teiwan bekerja sebagai pembantu ingin mengucapakan banyak terimah kasih kepada KI KANJENG DEMANG atas bantuan AKI. Kini impian saya selama ini semaunya sudah tercapai kenyataan dan berkat bantuan KI KANJENG DEMANG pula yang telah memberikan Angka gaib hasil ritual beliau kepada saya yaitu 4D. Dan alhamdulillah berasil tembus. Dan rencana saya ingin Mau pulang ke kampung kumpul kembali degang keluarga saya sekali lagi makasih yaa KI karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang cuma 400rb Dan akhirnya saya menang. berkat angka gaib hasil ritual AKI KANJENG DEMANG saya sudah buka usaha warung makan Dan suami saya peternakan. Kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya, Dan saya ATAS Nama IBU ENDANG WULANDARI sekali lagi saya betul betul sagat berterima kasih kepada AKI Dan saya minta Maaf kalau Nama AKI saya tulis di internet itu semua saya lakukan karna saya Mau ada orang yang meminta bantuan Sama AKI agar seperti saya sudah sukses. Dan membatu orang orang yang kesusaan. bagi anda yang ingin seperti saya silahkan HUB / KI KANJENG DEMANG di Nomor INI: 081 / 234 / 666 / 039 / insya allah AKI akan membantu anda karna ramalan KI KANJENG DEMANG memiliki ramalan GAIB yang bagus Dan dijamain tembus
DeleteBagus teh cerita lahnya... ada emosi waktu membacanya... ^_^ keren lah... oh iya ini fiktif atau cerita base on true story?
ReplyDeleteteteh selalu interesting cerita"nya. Transylvania...!! most interesting too.. terusiiin teh ceritanyaaa. ditunggu kelanjutannya.. xoxo ^^
ReplyDeleteayooo teteh terusin lagi ceritanya ... saya penasaran teh ^_^
ReplyDeleteOMG, aku (ups, saya) ga suka karakter tania, tapi terus lanjut baca cerita ini, dan menunggu.. :)
ReplyDeletelanjutkan teh risa.... semangaat2..... :D
ReplyDeletePenasaran dgn kelanjutannya....
ReplyDeleteWaiting for 2nd Part :) semangat teteh :D
ReplyDeleteSuka sekali teh sama ceritanya:)
ReplyDeleteCeritanya hidup dan bikin penasaran sama kelanjutannya.
ditunggu teh kelanjutanya :)
ReplyDeletewah akhirnya post cerita juga :) ditunggu lanjutannya ya teh
ReplyDeletekeren!!
ReplyDeletePenggemar cerita teh Risa menyatakan two thumbs up!!
ReplyDeletebagus sekali..
ReplyDeletelanjutkan teh
Obat Herbal Amandel Tanpa Operasi
Obat Herbal Insomnia Akut
Obat Herbal Radang Tenggorokan Paling Ampuh
Obat Herbal Hernia Tanpa Operasi
Obat Herbal Vitiligo Ampuh
Obat Herbal Gagal Ginjal Tanpa Cuci Darah
Obat Herbal Gendang Telinga Pecah
Obat Herbal Leukemia Akut
Obat Herbal Kanker Otak Stadium 3
Obat Herbal Hepatitis B Paling Ampuh
Obat Herbal Kelenjar Tiroid Paling Ampuh
Obat Herbal Kista Mujarab
Obat Herbal Jantung Koroner Paling Ampuh
Obat Herbal Penyakit Chikungunya
Obat Herbal Kanker Prostat Tanpa Operasi
Khasiat Ace Maxs
..pengen liat lnjutanya lagi..😆
ReplyDeletekak ini sama kek novel tah ?
ReplyDeleteSukaaaa.... ngena banget, terharu. :')
ReplyDeleteKeren
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletepenasaran,,,,, beli buku ahhhh
ReplyDelete